Kepak Sayap Kepunkrockan: The Clash
Sebelum musik punk didefinisikan hingga seperti sekarang, beberapa genre dan skena turut berpengaruh bagi tersedianya panggung bagi musik punk dengan cara yang berbeda. Dimulai dari rock n roll, yaitu Little Richard dan teriakannya yang liar memulai bibit anarki di atas panggung jauh sebelum Johnny Rotten. Sedangkan dari musik Country, Johnny Cash memperluas batasan etika penulisan lirik dengan personanya yang outlaw sebagai kritiknya terhadap dogma rehabilitasi hukum.
When I was just a baby my mama told me
“Son, always be a good boy, don’t ever play with guns”
But I shot a man in Reno just to watch him die
— Johnny Cash, Folsom Prison Blues

Selanjutnya, Rockabilly yang energik dari Vince Taylor berjudul “Brand New Cadillac” secara langsung memberi materi tambahan untuk album ketiga The Clash “London Calling”. Di tempat lain, “Louie Louie” yang dipopulerkan oleh The Kingsmen dengan driving rhythm yang khas telah menginspirasi The Kinks dalam menulis “You Really Got me” yang terdengar lebih fuzzy. Dan sekitar tahun 1981, “Louie Louie” dihidupkan kembali oleh Black Flag dengan aransemen yang lebih hardcore.
Setelah The Kinks, sound gitar fuzzy diteruskan oleh Keith Richards dari Rolling Stones yang dikombinasikan dengan lirik Mick Jagger yang berfokus mengenai ketidakpuasannya terhadap status quo yang kemudian menjadi salah satu tema utama dalam musik punk. Band berpengaruh lain dari London yaitu The Who, mereka menyuarakan konflik antar generasi lewat lagu dengan rhythm start-stop yang mengesankan tetapi kurang radio friendly berjudul “My Generation”.
People try to put us down, talking ‘bout my generation
Just because we get around, talking ‘bout my generation
Things they do look awful cold, talking ‘bout my generation
Hope I die before I get old, talking ‘bout my generation
— The Who, My Generation
Di tengah lahir dan matinya band garage rock di Amerika, The Sonics lewat lagu dengan judul “Psycho” dan vokalnya terdistorsi, yang sebenarnya secara musik jauh dari punk tetapi telah berhasil memunculkan etos “No Future” yang kemudian menjadi elemen penting dalam ekspresi nihilism punk generasi pertama.
Segala musik berbasis rock mulai dari punk, alternative, gothic, post-rock dan shoegaze hampir semuanya bisa ditemukan di katalog Velvet Underground, tetapi yang paling monumental adalah lagu mereka yang berjudul “Sister Ray”. Lagu berdurasi 17 menit ini dibangun dengan riff yang membosankan, feedback yang kotor dan lebih terdengar seperti ocehan panjang Lou Reed soal drugs dan seks. “Sister Ray” adalah gambaran sederhana dari apa yang disebut sebagai musik anti-ketampanan dan memberi inspirasi pada Joy Division dan Buzzcocks.

Disaat MC5 membawa kemarahannya soal isu politik ke dalam musik berdurasi pendek dan tajam, The Stooges mengeluarkan lagu masochistic dengan riff tiga chord berjudul “I Wanna Be Your Dog”. Suara Iggy Pop, frontman The Stooges adalah hasil perpaduan antara vocal James Brown dan Jim Morrison. Ditambah dengan stage act-nya yang brutal menjadikannya simbol chaos yang sempurna dan membuatnya menjadi founder punk yang ikonik.
Dari genre glam rock, selain lagu curahan hati seorang hypersex berjudul “Solid Gold Easy Action” berdurasi 2 menit dari T.Rex dan ironi seni yang ditampilkan Roxy Music, ada New York Dolls yang juga memberi elemen tambahan bagi punk dengan penampilan berantakan dan immoral mereka yang terpengaruh dari manager mereka yang di Inggris yaitu Malcolm McLaren, orang yang sama dibalik band yang kemudian dikenal sebagai Sex Pistols.
Di pertengahan tahun 1970, lahirnya punk generasi pertama difasilitasi oleh sebuah bar di New York bernama CBGB. Beberapa musisi penting seperti Television, Dead Boys, Patti Smith, Talking Heads dan Blondie mengembangkan orisinalitas musiknya disini. Hingga di bulan februari 1976, single debut Ramones “Blitzkrieg Bop” berhasil mendefinisikan punk pertama di Amerika dan tahun 1976 menjadi garis pemisah penting dalam perubahan arus musik.

Di Inggris tepatnya di London dalam waktu yang berdekatan dengan rilisnya single debut Ramones, definisi punk muncul bersama dengan penampilan acak-acakan dan musik berantakan dari Sex Pistols. Dengan keadaan masyarakat dan pemerintahan Inggris yang juga sedang berantakan, lagu mereka “Anarchy In The UK” adalah refleksi yang aktual bagi keadaan Inggris waktu itu.
Titik nol punk dimulai dengan musik yang cepat dan straight-forward dari Ramones dan ditambah sikap sinis terhadap monarki Sex Pistols yang menambah unsur kemarahan dalam musik punk. Di tahun yang sama, The Clash dengan spektrum musik yang jauh lebih berwarna menjadi band terpenting dalam membawa punk ke jangkauan yang lebih luas.
Persona punk yang sebelumnya hanyalah segerombolan pemuda urakan berjaket kulit yang memainkan musik bertempo cepat dan menyebarkan kemarahan buta, dirubah oleh The Clash dengan memberi alternatif lain. Berbeda dengan Sex Pistols yang meneriakkan “No Future”, The Clash menjadikan punk sebagai katarsis yang jauh lebih intelektual dan politis.

Selain persona, musik yang di produksi The Clash juga jauh berbeda dan berada diluar pakem band punk pada umumnya. Musik yang mereka hasilkan cenderung lebih eksperimental dan terpengaruh dari beberapa genre seperti rock n roll tradisional, rockabilly, pub rock, dub, hip-hop, ska hingga reggae yang juga berangkat dari perbedaan latar belakang tiap personelnya.
Sebelum bergabung dengan The Clash, Joe Strummer adalah lead singer band pub rock bernama The 101ers, Mick Jones adalah gitaris band London SS sedangkan Paul Simonon adalah bassist pemula (tapi lebih waras dari Sid Vicious) yang terpengaruh reggae dan fondasi mereka adalah Topper Headon, seorang drummer berbekal jazz yang tersesat di skena punk.
Di tengah permasalahan rasisme, kerusuhan, pengangguran masal dan birokrasi yang tidak efisien, Joe Strummer dengan pandangan politik intelektual sosialis bersama The Clash dan eksplorasi musik yang luas merilis album pertama mereka pada tahun 1977 dan menjadi gerakan penting dalam terbukanya kepak sayap kepunkrockan.

Memahami punk lewat The Clash seruntut mungkin dapat dimulai dengan “White Riot”. Lagu dari album pertama The Clash yang merupakan respon mereka terhadap kerusuhan di Notting Hill Carnival dan bentuk profokasi kepada pemuda kulit putih yang apatis untuk mengambil langkah “a riot of their own” sebagai bagian dari solidaritas antar ras.
Black man gotta lot a problems
But they don’t mind throwing a brick
White people go to school
Where they teach you how to be thick
And everybody’s doing
Just what they’re told to
And nobody wants
To go to jail
— The Clash, White Riot

The Clash benar-benar berfokus pada kenyataan dunia sebagaimana yang ada bukan pada dunia yang ingin kita percaya. “Hate & War” adalah antidote dari pesan “Love & Peace” tahun 60-an, sebuah penggambaran jujur realitas buruk dari orang-orang kelas pekerja yang menghabiskan hidup mereka di dasar rantai produksi yang jauh dari fantasi hidup ideal.
Masih dari album yang sama, “London’s Burning” adalah gambaran betapa membosankan dan suramnya hidup di pusat kota sedangkan “Career Oportunities” merupakan kritik terhadap tidak adanya alternatif hidup lain diluar pekerjaan rutin yang bergaji rendah dan “Police & Thieves” yang dicover dari Junior Murvin menggambarkan tindakan represif polisi yang mengakibatkan ketakutan masal.

Album kedua “Give ’Em Enough Rope” yang dirilis pada tahun 1978 dibuka secara tidak santai dengan lagu berjudul “Safe European Home”. Dibangun diatas isian drum Topper yang powerful, dengan rhythm yang dominan dan interaksi vokal Joe dan Mick ditambah Simonon yang terdengar semakin mengerti cara bermain bass menghasilkan lagu punk yang tidak hemat energi.
Lagu ini ditulis berdasarkan pengalaman Mick dan Simonon saat berkunjung ke Jamaika yang membuat orang kulit putih seperti mereka merasakan bagaimana rasanya menjadi minoritas seperti orang kulit hitam di Eropa. Sedangkan lagu anti perang “Tommy Gun” dibuka dengan bredetan drum yang terdengar seperti senjata riffle menggambarkan segala bentuk kerugian yang timbul akibat perang.
Tommy gun, you’ll be dead when war is won
Tommy gun, but did you have to gun down everyone?
I can see it’s kill or be killed
A nation of destiny has gotta be fulfilled
Whatever you want, you’re gonna get it
— The Clash, Tommy Gun

Album The Clash yang berdampak paling besar dalam membangun trend adalah “London Calling”, musik yang kompleks dan cover album yang ikonik dari album ini membuat mereka mendapat gelar “The Only Band That Matters” dari CBS dan “Rebels With a Cause” oleh majalah Rolling Stones. Diambil dari siaran “This is London Calling…” milik BBC World Service, menjadikan “London Calling” sebagai breaking news yang merangkum segala permasalahan dunia kedalam 19 lagu yang ambisius.
Track pertama album ini punya judul yang sama dengan nama albumnya, “London Calling”. Dengan vokal yang penuh kecemasan dan riff gitar yang tegas, Joe Strummer menyampaikan breaking news lewat “London Calling” yang sama sekali tidak mengandung berita baik. Ditambah dengan isu perubahan iklim, pengangguran masal, krisis pangan, perang dan bencana alam membuat lagu ini berhasil menduplikasi trik manipulatif ruang redaksi dalam mengontrol rasa takut dan membangun opini publik.
The ice age is coming, the sun’s zooming in
Meltdown expected, the wheat is growing thin
Engines stop running, but I have no fear
’Cause London is drowning
I live by the river
— The Clash, London Calling
Tidak tersedianya alternatif hidup selain pekerjaan rutin bergaji rendah dalam “Career Opportunities” dari album pertama, dilanjutkan The Clash dengan pertanyan “What are we gonna do now?” yang menjadi line pembuka dan kalimat kunci dalam memahami “Clampdown”.
“Clampdown” bukanlah kritik maupun serangan terhadap sistem. Lagu ini adalah sebuah peringatan tentang sejauh mana kita telah terlibat dalam penindasan terhadap diri kita sendiri dan bagaimana rasa takut yang diciptakan oleh sistem membuat kita menggantungkan kelangsungan hidup pada kompetisi yang tanpa sadar menjadikan kita peserta aktif dalam melanggengkan sistem yang menindas.
Dari lagu reggae ciptaan Simonon berjudul “Guns of Brixton” hingga elektrik jazz berjudul “Jimmi Jazz”. Dari isu perang hingga urusan ranjang berjudul “Lovers Rock” yang terlalu menjijikan untuk dibahas, membuat album ini punya peran yang besar dalam melahirkan banyak sub-genre baru.
Setelah semua isu terkait kemanusiaan, album “London Calling” ditutup dengan lagu yang juga manusiawi yaitu lagu perpisahan, lebih tepatnya lagu putus cinta berjudul “Train in Vain”. Lagu ini ditulis dari pengalaman pribadi Mick Jones. Dari lagu “Train in Vain”, dapat diambil kesimpulan bahwa Mick, seperti para jemaat punk pada umumnya bukanlah pria yang mengerti soal cara merawat hubungan.
Ledakan besar “London Calling” hanya terjadi satu kali, sisanya hanya perlu melanjutkan band agar tetap bertahan dan didengar secara luas. Masih konsisten dengan isu sosio-politik, pada 1980 mereka merilis album ke empat mereka berjudul “Sandinista!” (diambil dari nama partai sosialis di Nicaragua) dan menghasilkan beberapa lagu bermateri pelajaran sejarah juga isu operasi militer dan memberi sumbangan untuk album kompilasi mereka dengan “The Magnificent Seven”, “Hitsville UK” dan “Police On My Back”.
Album ke lima, “Combat Rock” tahun 1982 dirilis sedikit terlambat dikarenakan beberapa masalah internal band. Dengan proses produksi yang terkendala, The Clash tetap mendapat perhatian dunia lewat lagu klasik rock “Should I Stay or Should I Go”, “Rock The Casbah” sebagai kritik terhadap pemerintahan Iran yang melarang pemutaran musik barat di negara mereka dan lagu advokasi hak dasar manusia berjudul “Know Your Rights”.
Number one, you have the right not to be killed
Murder is a crime, unless it was done by a policeman or an aristocrat
Oh, know your rights
— The Clash, Know Your Rights
Masterpiece di album ini adalah “Straight To Hell”, dark-bossanova yang menggambarkan ketidakberdayaan manusia dihadapan sejarah. Verse pertama berkaitan dengan pemandangan di Inggris pada tahun-tahun awal Iron Lady Margaret Thatcher, sedangkan verse kedua berbicara tentang nasib suram anak-anak Vietnam yang lahir dari hasil hubungan ibunya dengan tentara Amerika.
Wanna join in a chorus of the Amerasian blues
When it’s Christmas out in Ho Chi Minh City
Kiddie say, papa papa papa papa papa-san, take me home
See me, got photo, photo, photograph of you
And mama, mama, mama-san
Of you and mama mama mama-san
Let me tell ya ‘bout your blood bamboo, kid
It ain’t Coca-Cola, it’s rice
— The Clash, Straight To Hell
Album terakhir “Cut The Crap” 1985, diproduksi dalam kondisi band yang setengah bubar. Sesuai dengan nama album ini, The Clash berusaha kembali ke akar musik mereka dan lagu berjudul “This Is England”, dengan cukup jelas menggambarkan bahwa poin utama The Clash bukan cuma soal jenis musik apa yang mereka gunakan, tetapi soal mengkomunikasikan dan menyebarkan gagasan kepada pendengarnya.
“…music is is not the point, see. What matters is how much spirit you put into it, how much intelligence you put into it, does it have any meaning you know, does it, will it communicate to other people.” — Interview with Joe Strummer and The Clash in Norway 1984, Filmed by NRK.

Dimulai dari club-club kecil di London hingga menyebar ke seluruh dunia, musik punk yang awalnya hanya dikonsumsi kalangan tertentu, disebarkan The Clash ke setiap sudut masyarakat. Hampir 40 tahun sejak band ini tidak aktif, musik yang mereka buat masih relevan dan mampu mentransmisikan gambaran kehidupan yang juga masih kalang kabut, ketakutan massal dan kegagalan sistemik dunia modern.
Seperti apa yang mereka sampaikan dalam wawancara dengan Tom Snyder tahun 1981, The Clash bukan hanya merupakan band punk rock Inggris generasi pertama melainkan juga sebagai “news-giving group”. Dengan penggunaan kekuatan informasi dan segala sudut pandangnya, membuat band ini memiliki perbedaan yang kontras dengan band punk lain yang cenderung nihilistik.
Disaat band punk generasi pertama yang lain meyuarakan kemarahan dan keputusasaan, The Clash mendorong pendengarnya untuk berpikir sebelum mengambil tindakan dan konsekuen dengan tindakan mereka bahkan jika harus menjauhkan diri dari etos punk mengenai pemberontakan dan pengerusakan.
Penyematan slogan “The Only Band That Matters” kepada The Clash menjadi masuk akal karena bukannya berteriak “No Future!”, The Clash memberi pertanyaan “what are we gonna do now?” dan meredam kemarahan sinis menjadi ajakan berpikir kritis kepada pendengar dengan “know your rights!”.
Dengan popularitas yang mereka capai, memungkinkan mereka memiliki akses ke music-chart populer dan pemutaran radio yang memungkinkan transmisi berulang terhadap ide yang mereka propagandakan. Memanfaatkan dukungan dari label CBS, The Clash menyeimbangkan substansi sosio-politik musik punk dengan tetap memproduksi lagu populer bersamaan dengan manifestasi ideologi kiri yang menjadi blue-print musisi generasi setelah mereka yang mengambil tujuan sosial atau politik.
The Clash memberi masa depan baru bagi punk rock dan membuatnya dapat diterima dan menjadi sumber acuan musisi secara global bahkan diluar skena punk, sebut saja Tom Morello dan Rage yang beberapa kali membawakan “White Riot”. Juga band post-punk revival atau mudahnya disebut “punk-tapi tampan” The Strokes, yang mengcover “Clampdown”.
Musik yang diproduksi The Clash memang bukanlah musik yang sepenuhnya punk, bahkan Joe Strummer menyatakan dia tidak peduli dengan musik apa yang akan mereka gunakan. Dalam wawancaranya di NRK, Ia mengatakan bahwa “all we’re trying to do is communicate something and it’s nothing to do with Aminor 7th chord … all we try to communicate is number one, you’ve been brainwashed since the day you were born. number two, you’ve got to do a lot of work to even do any of your own thinking and we’re trying to communicate that destiny is within our hands.”

Diluar dari apa yang The Clash capai seperti penghargaan “Rock and Roll Hall of Fame” dan beberapa karyanya yang masuk kedalam daftar karya terbaik sepanjang masa oleh majalah Rolling Stones, juga Joe Strummer yang masih diperdebatkan masuk kedalam daftar “The 50 Hottest Men of All Time”, pesan utama The Clash pada akhirnya adalah tentang bagaimana sebuah musik tidak hanya dapat menyatukan orang tetapi juga mengubah lingkungan dan membuka pikiran orang disekitar mereka.
0 Komentar