Manusia tentunya memiliki kecenderungan untuk berusaha mengerti arti kehidupan dan segala hal yang ada dunia. Manusia telah menggunakan akal untuk mencoba mengerti tentang segala jenis pertanyaan mendasar yang muncul dikepala.
Ditambah beberapa tragedi dalam hidup seringkali mendorong manusia dalam keadaan krisis eksistensi mengenai ide akan kebebasan dan tanggungjawab, kehidupan dan kematian, isolasi dan keterhubungan ataupun emosi, pengalaman dan aktualisasi yang pada akhirnya memunculkan pertanyaan yang masing-masing manusia berusaha menjawabnya.
Setelah manusia hidup cukup lama di dunia dan sudah banyak juga pemikir yang telah berusaha menjawab pertanyaan eksistensial tersebut dengan berbagai macam metode berfikir. Tetapi sampai esai ini ditulis yang muncul sebatas aliran-aliran dan istilah-istilah yang tentunya hanya berusaha menjawab. Selain nihilism dan eksistensi
Absurdism dikenal luas melalui esai yang ditulis oleh Albert Camus dengan judul “Le Mythee de Sisyphe” yang originalnya dirilis di Perancis. Esai ini berusaha menjawab segala pertanyaan eksistensial seperti siapakah diriku yang sebenarnya?, apa tujuan hidupku?, apakah aku memiliki kebebasan?, apakah keberadaanku berarti bagi orang lain? Yang selanjutnya disebut Camus sebagai the absurd. Dengan terbitnya “Le Mythee de Sisyphe” tahun 1942, yang terpengaruh dari Schopenhaur, Kierkegraad dan Nietzsche, Camus berusaha menjelaskan konsep absurdism melalui mythologi Yunani lewat cerita Sisyphus.
Sisyphus adalah raja lalim yang dikutuk karena meniduri keponakannya sendiri, merebut tahta saudaranya, dan membocorkan rahasia Zeus. Sisyphus harus mendorong batu karang sampai keatas gunung kemudian batu akan digulingkan kembali kebawah, Sisyphus harus turun kembali mengambil batu tersebut kemudian mendorongnya kembali sampai ke puncak untuk kemudian digulingkan lagi dan harus didorong kembali secara berulang.
Cerita tentang Sisyphus mungkin terdengar seperti lelucon, tetapi pola yang sama juga terjadi di keseharian dan sepanjang hidup manusia yang tentunya memiliki batu masing-masing untuk didorong.
Dari manusia lahir lalu belajar dan berkompetisi sampai mendapat peringkat, harus memulai lagi dari awal di dunia kerja mengumpulkan uang dan membeli hal-hal yang sekiranya perlu, memulai mendorong batu lagi mungkin kali ini batu pernikahan, memulai lagi meneruskan keturunan, mengejar pengakuan dan segala pola-pola turunan dibawahnya yang harus dijalani entah sampai kapan.
Tapi apakah yang manusia lakukan setiap hari tersebut memiliki arti yang obyektif ataukah arti mengenai semua hal yang manusia percayai hanyalah arti subyektif yang dibuat manusia sendiri agar hidup manusia terkesan memiliki arti?
Absurdisme adalah pandangan filosofis yang berpandangan bahwa upaya manusia untuk menemukan makna atau penjelasan rasional alam semesta dan pada akhirnya gagal karena memang tidak ada makna seperti itu.
The absurd sendiri mengacu terhadap konflik yang terjadi antara kecenderungan manusia untuk mencari nilai dan makna yang melekat dalam hidup dan ketidakmampuan manusia untuk menemukan alasan apapun di alam semesta yang tidak memiliki tujuan, tidak berarti dan tidak rasional.
Untuk beberapa orang, pencarian ini berakhir pada dua jalan antara menyimpulkan bahwa hidup memang tidak berarti dan beberapa orang berusaha untuk mengisi kekosongan arti dengan memercayai kekuatan yang lebih besar dari manusia yang kemudian dikenal sebagai kepercayaan. Camus sendiri lewat absurdism berusaha memberikan beberapa solusi dalam menghadapi ketidakmampuan ini.
Solusi yang pertama adalah mencoba untuk tidak peduli dengan ke-nihil-an arti dalam hidup atau berpura-pura menganggap bahwa dunia itu sebenarnya masuk akal dan mencoba membuat tujuan sendiri untuk memberi arti dalam hidup manusia. Salah satu contohnya adalah dengan mencoba untuk menghindari fakta bahwa manusia hidup memang hanya untuk mati dan membuat kepercayaan bahwa ada imbalan dan hukuman setelah kematian. Bagi orang yang cenderung sekuler, menghasilkan banyak uang dengan jumlah tertentu hingga usia tertentu dan hidup santai di masa pensiun adalah cara yang paling masuk akal untuk hidup.
Solusi yang kedua adalah dengan meninggalkan akal tau reasoning dan berusaha hidup sedangkal mungkin. Beberapa filsuf seperti Karl Jaspers berargumen bahwa:
akal tau pemikiran adalah konsep yang tidak berguna.
Sedangkan Kierkegaard berpendapat bahwa:
dunia memang sedikit masuk akal tetapi berada diluar pemahaman manusia dan manusia seharusnya cukup percaya menerima fakta bahwa manusia tidak akan pernah mengerti dunia.
Solusi terakhir dan yang paling radikal dari Camus yang mungkin terdengar muram adalah setelah manusia mengetahui kenyataan pahit dan kementokan akal dari the absurd bisa diselesaikan secara tuntas dengan cara bunuh diri. Tetapi menurut Camus, dengan membunuh diri sendiri berarti manusia juga membunuh kebebasan itu sendiri yang juga diperjuangkan dalam melawan the absurd.
Berdasarkan segala solusi yang ditawarkan Camus, Manusia dapat menciptakan makna dalam hidup mereka sendiri yang tentunya bukan makna objektif melainkan menciptakan sesuatu diluar diri manusia yang dirasa layak untuk dihidupi dengan tetap menjaga jarak irony antara makna yang manusia ciptakan dan makna yang absurd sehingga makna fiktif tidak menggantikan the absurd.
Dengan perlawanan sadar secara konsisten terhadap keterbatasan manusia dalam memahami absurditas dunia, maka manusia berpotensi menjadi bebas secara penuh. Dan perlawanan terhadap the absurd dapat menjadi metode tunggal untuk hidup di masa sekarang dan menghidupi hidup sebagaimana adanya bukan sebagaimana mestinya.
Kembali ke Sisyphus, ketika ia mendorong batu karang gunung dan digulingkan kembali dan mengulangi yang ia lakukan selamanya, coba bayangkan Sisyphus bahagia. Camus menanyakan ini atas dasar alasan bahwa Sisyphus tidak punya ide tentang kegagalan dan kesuksesan dari keberadaannya, ia tidak membayangkan tentang hidup sebagai tujuan tetapi sebagai jalan yang harus ditempuh.
Keberadaan Sisyphus terikat dalam masa sekarang tetapi tetap saja Sisyphus memberontak terhadap keadaannya secara konsisten dengan terus mengerjakan tugas yang tidak akan pernah bisa selesai. Sisyphus menghadapi semuanya dengan penerimaan mutlak melawan nihilism dan keputusasaan, kesadaran ini membuatnya benar-benar bebas meskipun dalam kondisinya yang tidak memiliki arti.
Tetapi dia adalah Sisyphus, seorang raja yang dikutuk karena kesalahannya sendiri lalu dipaksa mendorong batu entah sampai kapan. Sedangkan kita sama sekali bukan raja, kita orang biasa yang tanpa tau apa kesalahan kita tetapi dikutuk mungkin juga oleh Zeus untuk turun ke bumi dan dipaksa bekerja dan berdo’a. Lalu atas keputusan searah tersebut, apakah kita si “manusia biasa” ini memiliki hak untuk menyeret Zeus ke persidangan?
0 Komentar